Rapor UHC Buruk: Alarm Mutu Layanan Kesehatan
www.lotusandcleaver.com – Laporan WHO terbaru memberi rapor kurang baik untuk Universal Health Coverage (UHC) Indonesia. Penilaian ini bukan sekadar angka di atas kertas, namun cermin telanjang mengenai kualitas layanan kesehatan yang diterima warga. Ironinya, jutaan orang sudah memegang kartu BPJS, tetapi tetap kesulitan memperoleh perawatan ketika sakit. Fenomena tersebut menegaskan bahwa kepemilikan jaminan tidak otomatis menjamin akses nyata ke pelayanan bermutu.
Perhatian Menteri Kesehatan terhadap masalah ini patut diapresiasi, sebab sorotan tertuju pada akar persoalan: kualitas layanan, bukan hanya perluasan kepesertaan. Jika pengguna BPJS masih sering ditolak fasilitas kesehatan, dipingpong antar rumah sakit, atau mendapat pelayanan setengah hati, maka target UHC sejati masih jauh. Tulisan ini mengupas mengapa rapor UHC Indonesia rendah, di mana kebocoran mutu terjadi, serta apa langkah realistis untuk memperbaiki pelayanan garis depan.
UHC Bukan Sekadar Kartu, Namun Mutu Layanan Nyata
Selama ini, keberhasilan program JKN–BPJS kerap diukur lewat angka kepesertaan. Hampir seluruh penduduk tercatat sebagai peserta, sehingga seolah Indonesia sudah dekat dengan UHC penuh. Namun, WHO menilai UHC secara lebih komprehensif. Penekanan utama berada pada akses efektif dan kualitas layanan yang diterima pasien. Artinya, kalau kartu sudah di tangan namun hak pelayanan masih tersendat, maka skor UHC wajar rendah.
Banyak cerita lapangan memperlihatkan kesenjangan tersebut. Ada pasien gawat yang diminta bayar uang muka, keluarga miskin kebingungan mencari rumah sakit rujukan, atau penderita kronis kesulitan memperoleh obat sesuai standar. Semua contoh itu menunjukkan kualitas layanan belum konsisten di berbagai daerah. UHC sejati menuntut bukan hanya layanan tersedia, tetapi juga bermutu, aman, tepat waktu, serta terjangkau tanpa beban finansial berlebihan.
Dari sisi kebijakan, fokus pembangunan sering condong ke urusan administrasi dan klaim, bukan ke pengalaman pasien. Rumah sakit sibuk mengelola tarif INA-CBGs, mengurus berkas verifikasi, hingga meladeni audit. Sementara itu, kebutuhan dasar seperti komunikator medis yang empatik, ruang rawat manusiawi, serta prosedur klinis berbasis bukti kerap tertinggal. Di titik inilah penurunan kualitas layanan mulai terasa, lalu memengaruhi skor UHC Indonesia di mata dunia.
Akar Masalah: Antara Pembiayaan, SDM, dan Tata Kelola
Keluhan pasien pemilik BPJS yang tidak bisa dirawat sering berkaitan dengan isu pembiayaan. Banyak rumah sakit merasa tarif penggantian klaim terlalu rendah untuk layanan tertentu. Akibatnya, fasilitas kesehatan enggan menanggung beban pasien berdana besar, khususnya kasus kompleks. Muncul praktik penolakan halus, misalnya alasan kamar penuh atau mesin rusak, meski faktanya masih ada opsi pelayanan lain. Ketegangan antara keberlanjutan finansial fasilitas dan kewajiban melayani peserta JKN sangat memengaruhi kualitas layanan di lapangan.
Di luar urusan uang, keterbatasan tenaga kesehatan juga menjadi biang masalah. Rasio dokter, perawat, bidan, hingga tenaga penunjang masih timpang antar wilayah. Daerah terpencil kekurangan SDM, sedangkan kota besar kewalahan menghadapi lonjakan pasien. Dalam kondisi seperti itu, kualitas layanan mudah merosot. Tenaga medis lelah, antrean mengular, waktu konsultasi singkat, serta risiko salah diagnosis meningkat. WHO menilai dimensi ini sebagai bagian penting dalam penentuan skor UHC, bukan hanya sekadar jumlah fasilitas yang berdiri.
Tata kelola sektor kesehatan pun belum sepenuhnya kuat. Pengawasan mutu layanan berjalan tidak merata. Standar prosedur operasional ada di atas kertas, tetapi implementasi kerap longgar. Mekanisme pengaduan pasien tersedia, namun jarang menimbulkan perbaikan berarti. Di banyak tempat, budaya evaluasi mutu masih lemah, sehingga kesalahan berulang. Menurut pandangan saya, tanpa reformasi manajemen dan kepemimpinan layanan, penambahan anggaran saja tidak akan cukup mengangkat kualitas layanan ke level yang diharapkan WHO.
Paradoks BPJS: Akses Luas, Pengalaman Pasien Masih Pahit
Kisah pasien memegang kartu BPJS namun tidak bisa dirawat menyorot paradoks besar. Program jaminan kesehatan nasional diciptakan untuk menghapus hambatan biaya. Tetapi pada praktiknya, penghalang baru muncul berupa birokrasi berlapis, jalur rujukan berbelit, serta perbedaan interpretasi aturan di tiap fasilitas. Pasien merasa dipingpong, sementara petugas terjepit di antara ketentuan BPJS, regulasi Kementerian Kesehatan, dan realitas operasional rumah sakit. Semua ini berimbas langsung pada kualitas layanan yang dirasakan masyarakat.
Dari perspektif pasien, kualitas layanan tidak diukur lewat istilah teknis, melainkan pengalaman konkret. Apakah ia cepat ditangani saat gawat darurat? Apakah dokter menjelaskan kondisi secara jelas? Apakah obat tersedia tanpa harus membeli sendiri di luar? Jika jawaban untuk pertanyaan tersebut sering negatif, maka wajar WHO memberikan skor UHC rendah. Indonesia boleh bangga dengan cakupan jaminan luas, namun perlu jujur mengakui kekurangan mutu layanan di titik temu pasien dan fasilitas.
Saya melihat persoalan ini sebagai panggilan untuk mengubah cara pandang. UHC seharusnya ditafsirkan sebagai jaminan kualitas layanan yang bermartabat bagi setiap warga, bukan hanya sebagai angka kepesertaan. Bila pasien miskin masih merasa menjadi warga kelas dua di rumah sakit, berarti kontrak sosial antara negara dan rakyat belum terpenuhi. Perubahan mesti dimulai dari pengakuan jujur bahwa strategi selama ini terlalu fokus pada sisi kuantitas, sementara kualitas layanan tertinggal jauh.
Langkah Perbaikan: Dari Regulasi Hingga Budaya Pelayanan
Perbaikan kualitas layanan memerlukan langkah berlapis. Pertama, struktur pembiayaan harus lebih realistis terhadap biaya riil pelayanan bermutu. Revisi tarif layanan tertentu perlu mempertimbangkan beban kerja, kompleksitas klinis, serta kebutuhan investasi alat. Dengan skema pembiayaan lebih adil, rumah sakit tidak terus-menerus merasa rugi ketika melayani pasien BPJS. Hal tersebut akan mengurangi dorongan penolakan terselubung serta membuka ruang bagi peningkatan mutu layanan.
Kedua, penguatan SDM kesehatan mutlak dilakukan. Distribusi tenaga medis perlu diatur lebih berkeadilan, misalnya lewat insentif karier, tunjangan khusus daerah sulit, serta fasilitasi pendidikan berkelanjutan. Kualitas layanan sangat berkaitan dengan kompetensi dan motivasi tenaga kesehatan. Program pelatihan yang menekankan komunikasi klinis, empati, dan keselamatan pasien harus menjadi prioritas, bukan sekadar pelengkap. UHC tanpa tenaga kesehatan berkualitas akan berujung pada layanan asal jadi.
Ketiga, perubahan budaya pelayanan menjadi kunci. Manajemen rumah sakit perlu menempatkan pengalaman pasien sebagai indikator utama keberhasilan, sejajar dengan neraca keuangan. Sistem penghargaan internal bisa diarahkan ke unit yang konsisten menjaga kualitas layanan, misalnya waktu tunggu singkat, keluhan menurun, atau kepuasan pasien meningkat. Transparansi data mutu layanan juga penting, agar publik dapat memantau dan memberi tekanan positif untuk perbaikan terus-menerus.
Refleksi: Menjadikan Kualitas Layanan sebagai Inti UHC
Rapor UHC Indonesia dari WHO memang kurang menggembirakan, tetapi sejatinya menjadi cermin berharga. Nilai rendah tersebut menegaskan bahwa pekerjaan rumah terbesar bukan lagi memperluas kepesertaan, melainkan mengangkat kualitas layanan sampai menyentuh pengalaman nyata pasien. Saya percaya, ketika negara berani mengakui kelemahan, menata pembiayaan, memperkuat SDM, serta membangun budaya pelayanan manusiawi, kartu BPJS tidak lagi sekadar plastik di dompet. Ia akan menjadi simbol hak kesehatan bermutu yang benar-benar bisa dirasakan, terutama oleh mereka yang paling rentan. Di titik itulah, UHC bukan lagi slogan, melainkan janji konstitusional yang terpenuhi secara bermartabat.